Selasa, 27 September 2011

ANGINA PECTORIS



       I.            KONSEP DASAR MEDIS
A.    Defenisi
Angina pectoris adalah nyeri dada atau ketidaknyamanan yang disebabkan oleh iskemia miokard yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard (Tucker et al, 1998 ).
Angina pectoris merupakan nyeri dada sementara atau suatu perasaan tertekan yang terjadi jika otot jantung mengalami kekurangan oksigen akibat pembuluh darah yang menyempit. Angina pectoris ini terjadi jika penyumbatan telah mencapai 70 % atau lebih .
B.     Etiologi
Adapun penyebab angina pectoris yaitu :
a.       Aterosklerosis
b.      Aorta insufisiensi
c.       Spasmus arteri koroner
d.      Anemia berat
C.    Factor pencetus
a.       Exposure to cold
b.      Eating
c.       Emotional stress
d.      Exertional
e.       Merokok
D.    Klasifikasi
Angina pectoris ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1.      Angina klasik ( stabil )
Angina klasik ini biasa terjadi pada saat pasien melakukan aktifitas. Angina ini terjadi jika arteri koroner yang aterisklerotik tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan alirannya sewaktu kebutuhan oksigen meningkat.
Lamanya serangan biasanya 10 menit,bersifat stabil tidak ada perubahan serangan dalam angina selama 30 hari.
2.      Angina prinzmetal / angina variant
Terjadi pada peningkatan beban kerja jantung dan sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina jenis ini terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemia. Kadang –kadang tempat spasme berkaitan dengan aterosklerosis.
3.      Angina tak stabil
Merupakan kombinasi antara angina stabil dan angina prinzmetal. Dijumpai pada individu dengan perburukan penyakit arteri koroner. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban kerja jantung . Hal ini tampaknya terjadi akibat aterosklerosis koroner, yang ditandai oleh thrombus yang tumbuh dan mudah mengalami spasme.

E.     Patofisiologi
Angina pectoris merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh aliran darah ke arteri miokard berkurang sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai o2 dan kebutuhan o2 miokard yang dapat menimbulkan iskemia dan mengakibatkan nyeri .
Kebutuhan jantung akan oksigen ditentukan oleh beratnya kerja jantung ( kecepatan dan kekuatan denyut jantung ). Aktivitas fisik dan emosi menyababkan meningkatnya kebutuhan jantung akan oksigen. Jika arteri menyempit atau tersumbat mengakibatkan kebutuhan jantung akan oksigen tidak terpenuhi maka bisa terjadi iskemia dan menyababkan nyeri.
Angina pectoris merupakan nyeri dada yang menyertai iskemia miokardium. Mekanisme yang tepat bagaimana iskemia dapat menyababkan angina pectoris belum jelas. Namun beberapa hasil penelitian mengatakan adanya reseptor saraf nyari terangsang oleh metabolit yang tertimbun oleh suatu zat kimia atau oleh stress mekanik local akibat kontraksi miokardium yang abnormal.





F.     Manifestasi klinis
            Diagnosis angina pectoris seringkali bardasarkan keluhan pasien seperti :
·         Nyeri dada , dengan ciri-ciri sbb;
·         Letak
Pasien sering merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum ( substernal ), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, punggung, rahang , leher , gigi , bahu.
·         Kualitas
Pada angina, nyeri dada seperti tertekan benda berat atau terasa panas, dan kadang-kadang klien hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada.
·         Hubungan dengan aktivitas
Nyeri dada pada angina pectoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki . Pada kasus yang berat aktivitas ringan pun dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya.
·         Lamanya nyeri
Lamanya nyeri dada pada angina pectoris biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, kemungkinan pasien menderita IMA bukan angina pectoris.
·         Sesak napas
Napas yang terasa pendek sewaktu melakukan aktivitas yang cukup berat dan makin lama sesak dirasakan makin meningkat.
·         Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl pada usia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dl pada usia 30 tahun.
·         Diaphoresis
·         Sakit kepala
G.    Pemeriksaan penunjang
·         Elektrokardiogram
·         Holter monitor
·         Angiografi curone
·         Stress testing
·         Foto rontgen dada
·         Pemeriksaan laboratorium
Yang dilakukan pada pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan enzim
( CPK, SGOT, LDH ). Enzim ini akan meninggi pada IMA sedangkan pada angina pectoris kadarnya masih normal.
Pemeriksaan lipid darah seperti kadar kolesterol LDH dan LDL.
Trigliserida perlu dilakukan untuk menemukan factor resiko seperti hiperlipidemia, dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk menentukan DM yang juga merupakan factor resiko bagi penderita angina pectoris.

H.    Prognosis
Salah satu studi terbesar Heart Protection Study ( HPS ) pada tahun 2002,menunjukan hasil yang cukup menarik perhatian. Menurut  studi ini,penurunan resiko insiden koroner 25 % biasa terjadi karena pengurangan kadar kolesterol LDL sekitar 40 mg/dL ( 1,03 mmol/L ). Menurut penelitian sekitar 4444 pasien ( 35-70 tahun ) dengan riwayat angina pectoris atau infark miokard dan memiliki kadar kolesterol 5,5-8,0 mmol/L serta trigliserida ( 2,5 mmol/L ).
I.       Penatalaksanaan
·         Pengobatan pada serangan akut, nitrogliserin sublingual 5 mg merupakan obat pilihan yang bekerja sekitar 1-2 menit dan dapat diulang dengan interval 3-5 menit.
·         Pencegahan serangan lanjutan :
·         long action nitrat, yaitu ISDN 3 dd 10-40 mg oral
·         beta blocker : propanolol, metoprolol, nadolol, dan pindolol.
·         Calcium antagonist : verapamil, diltiazem, nifedipin.
·         Mengobati factor predisposisi dan factor pencetus
·         Member penjelasan perlunya aktivitas sehari-hari untuk meningkatkan kemampuan jantung.



    II.            KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
Hal-hal yang harus dikaji pada pasien angina pectoris adalah sbb:
1.      Aktivitas/istirahat
Gejala : pola hidup monoton, kelemahan.
kelelahan, perasaan tidak berdaya setelah latihan.
Nyeri dada bila bekerja, menjadi terbangun bila nyeri dada.
Tanda : dispnea saat kerja
2.      Sirkulasi
Gejala : riwayat penyakit jantung, hipertensi, kegemukan.
Tanda : takikardia, disritmia.
Tekanan darah normal, meningkat atau menurun
Kulit atau membrane mukosa lembab, dingin, pucat.
3.      Makanan / cairan
Gejala : mual, nyeri ulu hati, saat makan.
Diet tinggi kolesterol, garam, kafein, minuman keras.
Tanda : distensi gaster
4.      Integritas ego
Gejala : stressor kerja, keluarga, lain-lain.
Tanda : ketakutan, mudah marah.
5.      Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : nyeri dada substernal, anterior yang menyebar ke rahang, leher, dan ekstermitas atas.

Tanda : wajah meringis, meletakkan pergelangan tangan pada midsternum, memijat tangan kiri, tegangan otot, gelisah.
Respon otomatis ( takikardia, perubahan TD )
6.      Pernapasan
Gejala : dispnea saat kerja, riwayat merokok.
Tanda : meningkat pada frekuensi / irama dan gangguan kedalaman.

B.     Diagnosa keperawatan
1.      Gangguan rasa nyaman, nyeri b/d menurunya aliran darah ke otot jantung, meningkatnya beban kerja jantung.
2.      Menurunya curah jantung b/d iskemik jantung yang lama, gangguan pada frekuensi / irama dan konduksi elektrikal.
3.      Kecemasan b/d krisis situasi, perubahan status kesehatan.
4.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar mengenai kebutuhan pengobatan) b/d informasi tidak adekuat / kesalahan interpretasi.
5.      Gangguan pola tidur b/d terganggunya proses istirahat – tidur, ketidaknyamanan
6.      Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan nafsu makan, mual muntah.
7.      Resiko tinggi intoleransi aktivitas b/d kesulitan dalam beraktivitas.
8.      Resiko tinggi injuri b/d kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
9.      Resiko tinggi perubahan / gangguan pada kinerja / peran b/d ketidakmampuan melakukan ADL.
10.  Resiko tinggi devisit perawatan diri b/d ketidakmampuan dalam perawatan diri.

ASUHAN KEPERAWATA­N ABSES PARU


I.       KONSEP MEDIS
*      Definisi
Abses paru pada hakekatnya adalah suatu penyakit infeksi di sebagian paru yang sesuai dengan namanya, terdiri dari suatu rongga berisi pus dengan dinding tipis dikelilingi proses radang setempat. Karena dalam paru didapatkan banyak percabangan bronkus, biasanya rongga abses berhubungan dengan satu atau lebih bronkus, sehingga pus bisa keluar melalui bronkus tersebut untuk kemudian dibatukkan keluar. Sehingga biasanya kadang terisi udara juga.
 Abses paru adalah lesi nekrotikan setempat pada parenkim paru yang mengandung bahan purulen; lesi mengalami kolaps dan membentuk ruang.
*      Etiologi
Abses paru dapat terjadi akibat hal – hal sebagai berikut:
1.      Bakteri an aerob → Bahan teraspirasi dari hidung atau mulut
2.      Obstruksi bronkus oleh benda asing, tumor, secret/ mucus
3.      Nekrotisasi pneumonia, tuberkulosis, embolisme paru, atau trauma dada
*      Manifestasi Klinik
Presentase klinik abses paru dapat beragam dari batuk produktif ringan sampai penyakit akut. Sebagian besar pasien mengalami batuk produktif dengan jumlah sputum sedang sampai banyak dan berbau yang sering bercampur darah. Dispnea, kelemahan, anoreksia, demam, berkeringat, dan penurunan berat badan biasa terjadi. Ketika bernapas penderita juga dapat merasakan nyeri dada, terutama jika telah terjadi peradangan pleura.
Pada kasus yang tipikal gejala timbul 1 sampai 3 hari setelah aspirasi bahan infeksius dengan malaise, demam, menggigil diikuti dengan batuk dan sering dengan sakit dada. Bila tidak diobati keadaan tambah buruk dengan nyeri pleural, seaak napas dan sianosls. Pada hari ke 10 biasanya timbul batuk dengan nanah yang banyak berbau busuk dan campur darah. Pada kasus yang tidak khas gejala seperti pneumonia denqan batuk sputum purulen dan batuk darah. berulang kali. Abses yang pecah ke dalam kavum pleura menimbulkan nyeri pleural hebat, sesak napas dengan tanda - tanda empiema atau piopnrumotoraks
*      Patofisiologi
Garry tahun 1993 mengemukakan proses terjadinya abses paru sebagai berikut:
a)   Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misal abses hepar.
b)   Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c)   Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
d)  Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.
*      Patologi
Proses dimulai di bronki/bronkioli, menyebar ke parenkim paru dikelilingi oleh jaringan granulasi. Perluasan ke pleura sering terjadi. Hubungan dengan bronkus dapat terjadi sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase dan pengobatan yang tidak memadai akan menyebabkan abses menjadi menahun.
*      Pemeriksaan Diagnostik
ü  Pada pemeriksaan foto paru, akan tampak gambaran konsolidasi (infiltrat padat) suatu lobus dengan suatu kavitas didalamnya. Kadang – kadang dapat dijumpai AFL.
ü  Pada pemeriksaan darah perifer, akan didapatkan peningkatan leukosit. Juga akan ada peningkatan LED. Kultur darah jarang menunjukan kuman penyebab.
ü  Sputum → hanya bila ada drainase dari rongga abses ke suatu percabangan bronkus, sehingga nanah dapat langsung dibatukan keluar, pemeriksaan Gram dan perbenihan akan dapat menunjukkan etiologi.
*      Diagnosis
Walaupun pada umumnya keluhan – keluhan abses paru akut yang dikemukakan penderita dapat menyerupai ISPB (Infeksi Saluran Pernapasan Bawah) pada umumnya dan peneumoni khususnya, yang lebih menonjol pada abses paru adalah nyeri dada unilateral yang timbul jauh lebih cepat dan terasa lebih nyeri daripada pneumoni. Temuan – temuan fisik diagnostik dan gambaran radiologis akan dapat menunjukkan diagnosis dengan jelas. Pemeriksaan ini akan menjadi lebih menentukan lagi bila absesnya bersifat kronis.
*      Penatalaksanaan
1.      Terapi antimikroba intravena, tergantung pada hasil kultur sputum dan sensitivitas yang diberikan untuk periode yang lama. Pengobatan pilihan tergantung pada organisme yang di isolasi. Contoh: klindamisin merupakan obat pilihan, diikuti dengan penisilin dan metronidazol.
2.      Antibiotik oral menggantikan terapi intravena, setelah klien menunjukkan tanda – tanda perbaikan dalam 3 – 4 hari.
3.      Drainase yang adekuat abses paru sering dicapai melalui drainase postural dan fisioterapi dada. Penggunaan bronkoskopi untuk mengalirkan abses merupakan hal yang kontroversial. Tindakan ini akan sangat berguna untuk menyingkirkan benda asing atau tumor atau untuk mencari letak saat drainase bronkus.
4.      Diet tinggi protein dan kalori penting karena infeksi kronis berkaitan dengan keadaan katabolik, yang memerlukan peningkatan masukan kalori dan protein untuk mempercepat penyembuhan.
5.      Intervensi bedah jarang dilakukan. Namun reseksi paru (lobektomi) dilakukan jika terjadi hemoptisis masif, malignansi,  atau tidak memberikan respon terhadap penatalaksanaan medis.
*      Komplikasi
Kalau abses timbul di perifer paru dan berdekatan dengan pleura viseralis, kadang – kadang dinding abses bisa pecah serta ikut pula merobek pleura viseralis, sehingga akan terjadi suatu empiema atau piotoraks. Kalau bronkus yang bermuara di dinding abses tersebut lalu berhubungan dengan rongga pleura, akan terjadi piopnemotoraks.
Abses dapat pula menimbulkan erosi dinding pembuluh darah yang ada didekatnya sehingga dapat robek, sehingga penderita akan mengalami hemoptoe serta dapat pula menyebabkan komplikasi – komplikasi berupa mini – abses di organ – organ lain, seperti otak, ginjal, dan sebagainya.
*      Prognosis
Dengan penanganan yang tepat, pada umumnya abses dapat disembuhkan dengan baik. Begitu pus sudah terevakuasi semua dan proses radang dapat disembuhkan, dinding abses akan mengkerut secara progresif sehingga rongga abses akan menutup kembali dengan meninggalkan jaringan parut.
*      Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan tindakan – tinadakan yang dapat mengurangi resiko terjadinya abses, antara lain:
1.      Pasien harus menjalani pencabutan gigi ketika gusi dan gigi mereka terinfeksi, mungkin harus diberikan terapi antibiotik yang sesuai sebelum prosedur yang menyangkut gigi.
2.      Pasien di instruksikan untuk mempertahankan hygiene yang adekuat terhadap gigi dan mulut, karena bakteri an aerobik berperan dalam patogenesis abses paru.
3.      Terapi antimikroba yang sesuai diresepkan bagi pasien dengan pneumonia.



II.    KONSEP DASAR KEPERAWATAN
*      Dasar Data Pengkajian Pasien
1)      Aktivitas/ Istrahat
Gejala         : Kelemahan, kelelahan; insomnia
Tanda          : Penurunan toleransi terhadap aktivitas; letargi
2)      Sirkulasi
Gejala         : Takikardi
Tanda          : Warna kulit/ membran mukosa: cyanosis
3)      Integritas Ego
Gejala         : Peningkatan faktor resiko, perubahan pola hidup
Tanda          : Ansietas, gelisah
4)      Makanan/ Cairan
Gejala         : Kehilangan nafsu makan
Tanda          : Penurunan berat badan
5)      Nyeri/ Kenyamanan
Gejala         :  Nyeri dada (pleuritik), meningkat oleh batuk
Tanda          : Melindungi area yang sakit ( pasien umumnya tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi gerakan) 
6)      Pernapasan
Gejala         : Riwayat adanya pneumoni, tuberkulosis, emboli paru; Batuk produktif dan tidak produktif; dispnea
Tanda          : Sputum sering bercampur darah dan berbau; foto paru tampak konsolidasi; perkusi: pekak diatas area yang konsolidasi; cyanosis bibir/ kuku; bunyi napas: bronkial; mulut atau tenggorokan berbau busuk; krepitasi.
7)      Keamanan
Gejala         : Demam
Tanda          : Peningkatan suhu tubuh, berkeringat, menggigil
8)      Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala         : Faktor resiko keluarga, Riwayat mengalami pembedahan.
*      Diagnosa Keperawatan
1.      Bersihan jalan napas tidak efektif  berhubungan dengan peningkatan produksi mukus
2.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen.
3.      Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada parenkim paru dan aktivitas batuk
4.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
5.      Peningkatan suhu tubuh (Hyperthemia) berhubungan dengan proses inflamasi
6.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan melalui keringat, demam, napas mulut/ hiperventilasi)
7.      Gangguan pola tidur berhubungan dengan akumulasi mukus pada jalan napas.
8.      Intoleransi aktivitas berhungan dengan kelemahan umum.
9.      Resiko tinggi infeksi saluran pernapasan berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan utama (penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernapasan)
10.  Kurang pengetahuan berhubungan dengan kesalahan kurang terpajan informasi dan  kesalahan interpretasi

*      Intervensi Keperawatan
1)      Bersihan jalan napas tidak efektif  b/d peningkatan produksi mukus
Intervensi:
1.      Kaji frekuensi/ kedalaman pernapasan dan gerakan dada
R: Takipnea, pernapasan dangkal, dan gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada atau cairan paru.
2.      Auskultasi area paru, catat area penurunan/ tak ada aliran udara dan bunyi napas adventisius,mis krekels, mengi.
R: Penuruan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Krekels, ronki dan mengi terdengar pada inspirasi atau ekspirasi pada respon terhadap pengumpulan cairan, sekret kental, dan spasme jalan napas/obstruksi.
3.      Bantu pasien melakukan latihan napas sesering mungkin. Tunjukan/ bantu pasien mempelajari melakukan batuk, mis: menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi
R: Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat.
4.      Penghisapan mukus sesuai indikasi
R: Merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karna batuk tidak efektif.
5.      Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/ hari. Tawarkan air hangat.
R: Cairan ( khususnya yang hangat ) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
6.      Kolaborasi dengan dokter dalam program pengobatan.  Berikan sesuai indikasi, mis:bronkodilator.
R: Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret
2)      Gangguan  pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen
1.      Kaji frekuensi, kedalaman, dan kemudahan bernapas
R: Manifestasi distres pernapasan tergantung pada indikasi derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum.
2.      Observasi warna kulit, membran mukosa, dan kuku, catat adanya sianosis.
R: Sianosis kuku menunjukan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam/ menggigil.
3.      Kaji status mental
R: Gelisah, mudah terangsang, bingung dapat menunjukkan hipoksemia (penurunan oksigen serebral).
4.      Awasi frekuensi jantung/ irama
R: Takikardi biasanya ada sebagai akibat demam/ dehidrasi tetapi dapat sebagai respon terhadap hipoksemia.
5.      Awasi suhu tubuh. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil.
R: Demam tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi seluler.
6.      Pertahankan istrahat tidur
R: Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan/ konsumsi oksigen untuk memudahkan perbaikan infeksi.
7.      Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, napas dalam, dan batuk efektif.
R: Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi.
8.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen.
R: Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan Pa O2 di atas 60 mmHg. Oksigen diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi pasien.
3)      Nyeri b/d proses inflamasi pada parenkim paru dan aktivitas batuk
1.      Tentukan karateristik nyeri.
R: Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pada abses paru.
2.      Pantau TTV
R: Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain u/ perubahan TTV telah terlihat.
3.      Berikan tindakan nyaman
R: Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
4.      Tawarkan pembersihan mulut dengan sering
R: Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5.      Anjurkan dan bantu pasien dalam tekhnik menekan dada selama episode batuk
R: Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
6.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat, mis: dalam pemberian obat analgesik dan antitutif sesuai indikasi.
R: Obat ini dapat digunakan u/ menekan batuk no produktif/ paroksismal atau menurunkan mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/ istrahat umum.
4)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh  b/d anoreksia
1.      Identifikasi faktor yang menimbulkan mual, muntah misal: sputum banyak dan nyeri.
R: Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah.
2.      Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin. Berikan bantu kebersihan mulut setelah muntah, setelah tindakan aerosol, dan draenase postural, dan sebelum makan.
R: Menghilangkan tanda bahaya, rasa, bau dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual.
3.      Jadwalkan pengobatan pernapasan sedikitnya 1 jam sebelum makan
R: Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini.
4.      Auskultasi bunyi usus. Observasi/ palpasi distensi abdomen.
R: Bunyi usus mungkin menurun/ tidak ada bila proses infeksi berat. Distensi abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara atau menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada saluran GI.
5.      Berikan makanan porsi kecil dan sering.
R: Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu menurun.
6.      Evaluasi status nutrisi umum, ukur BB dasar
R: Adanya kondisi kronik atau keterbatasan keuangan dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap infeksi, dan lambatnya respon terhadap nyeri.
5)      Peningkatan suhu tubuh (hypertermia) b/d proses inflamasi
1.      Monitor tanda vital: suhu badan
R: Sebagai indicator untuk mengetahui status hypertermi
2.      Anjurkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat
R: Dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi
3.      Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
R: Menghambat pusat simpatis dihipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan
4.      Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R: Kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur, juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.
6)      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan melalui keringat, demam, napas mulut/ hiperventilasi)
1.      Kaji perubahan TTV
R: Peningkatan suhu/ memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
2.      Kaji turgor kulit, kelembaban, membran mukosa (bibir, lidah)
R: Indikator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan O2 tambahan.
3.      Catat laporan mual/ muntah
R: Adanya gejala ini menurunkan masukan oral.
4.      Pantau masukkan dan haluaran, catat warna, karakter urin. Hitung keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tidak tampak.
R: Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan pengganti.
5.      Tekankan cairan sedikitnya 2500ml/ hari atau sesuai kondisi individual.
R: Pemenuhan kebutuhan dasar cairan, menurunkan resiko dehidrasi.
6.      Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi, mis: anti piretik, anti emetik.
R: Berguna menurunkan kehilangan cairan.
7.      Kolaborasi dalam pemberian cairan tambahan intravena sesuai keperluan
R: Pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki/ mencegah kekurangan.
7)      Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak dan batuk yang bersputum.
1.      Jika ada pengobatan untuk paru – paru aturlah pemberian obat tersebut agar diberikan sebelum waktu tidur. Berikan obat antitusif  yang diprogramkan.
R: Selama tidur, napas dalam periodik, yang mengembangkan alveoli, tidak terjadi sebagaimana saat bangun dan bergerak. Akibatnya sekresi terakumulasi diparu – paru. Pengobatan khusus paru dapat membantu mengeluarkan sekresi. Antitusif menekan pusat kontrol batu diotak.
2.      Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika diperlukan. Anjurkan penggunaan O2 selama tidur juka diperlukan.
R: Udara segar yang selalu bergerak membantu mengontrol debu dan bakteri. Kelembaban antara 30% dan 60% mencegah kekeringan mukosa. Oksigen tambahan memberikan tambahan suplai oksigen ke jaringan tubuh.
3.      Pertahankan ruangan bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk bunga, dan pengharum ruangan.
R: Iritan ini dapat mencetuskan batuk.
4.      Pertahankan suhu ruangan yang nyaman.
R: Suhu ruangan yang terlalu panas dan terlalu dingin dapat mencetuskan batuk.
5.      Berikan analgetik yang diresepkan sebelum tidur.
R: Untuk mengontrol nyeri dan meningkatkan tidur.
6.      Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat atau mandi biasa, kemudian berikan backrub. Untuk meningkatkan relaksasi.
R: Dapat meningkatkan ekspansi paru.
7.      Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman (posisi semifowler).
R: Dapat meningkatkan ekspansi paru.
8.      Kolaborasi dengan dokter jika tindakan diatas tidak efektif dalam menurukan insomnia.
R: Sedatif atau tranquilizer mungkin diperlukan, namun obat – obatan tersebut harus digunakan dengan kewaspadaan, karena dapat menekan kontrol pernapasan dan menambah hipoksemia.
8)      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
1.      Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea,peningkatan kelemahan/ kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
R: Menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
2.      Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. Dorong penggunaan manajemen stres dan pengalihan yang tepat.
R: Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istrahat.
3.      Jelaskan pentingnya istrahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istrahat.
R: Tirah baring dipertahankan selama fase akut u/ menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi u/ penyembuhan, pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon individual pasien terhadap aktivitas dan perbaiki kegagalan pernapasan.
4.      Bantu pasien memilih posisi nyaman u/ istrahat.
R: Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi, atau menunduk ke depan meja atau bantal.
5.      Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
R: Meminimalkan kelelahan dan membantu keeimbangan suplai dan kebutuhan O2
9)      Resiko tinggi infeksi saluran pernapasan berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan utama (penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernapasan)
1.      Pantau TTV, khususnya selama awal terapi.
R: Selama periode waktu ini, potensial komplikasi fatal (hipotensi/ shock) dapat terjadi.
2.      Anjurkan pasien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna, jumlah, dan bau sekret.
R: Meskipun pasien dapat menemukan pengeluaran dan upaya membatasi atau menghindarinya, penting bahwa sputum harus dikeluarkan dengan aman.
3.      Tunjukan/ dorong tekhnik mencuci tangan yang baik.
R: Efektif berarti menurunkan penyebaran/ tambahan infeksi.
4.      Ubah posisi dengan sering dan berikan pembuangan paru yang baik.
R: Meningkatkan pengeluaran, pembersihan infeksi.
5.      Batasi pengunjung sesuai indikasi
R: Menurunkan pemajanan terhadap patogen infeksi lain.
6.      Lakukan isolasi pencegahan sesuai idividual.
R: Tergantung pada tipe infeksi, respon terhadap antibiotik, kesehatan umum pasien, dan terjadinya komplikasi, tekhnik isolasi mungkin diperlukan u/ mencegah penyebaran/ melindungi pasien dari proses infeksi lain.
7.      Dorong keseimbangan istrahat adekuat dengan aktivitas sedang. Tingkatkan masukan nutrisi adekuat.
R: Memudahkan proses penyembuhan dan meningkatkan tahanan alamiah.
8.      Kolaborasi dalam pemberian obat anti mikrobial sesuai indikasi. 
R:Obat ini digunakan u/ membunuh kebanyakan mikrobial abses paru.
9.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kesalahan kurang terpajan informasi dan  kesalahan interpretasi.
1.      Kaji fungsi normal paru, patologi kondisi.
R: Meningkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting menhubungkannya dengan program pengobatan.
2.      Diskusikan aspek ketidakmampuan dan penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan kesembuhan. Identifikasi perawatan diri dan kebutuhan/ sumber pemeliharaan rumah.
R: Informasi dapat meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah berlebihan. Gejala pernapasan mungkin lambat untuk membaik, dan kelemahan dan kelelahan dapat menetap selama periode yang panjang. Faktor ini dapat berhubungan dengan depresi dan kebutuhan untuk berbagai bentuk dukungan den bantuan.
3.      Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
R: Kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi/ mengikuti program medik.
4.      Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif/ latihan pernapasan
R: Dapat menjaga keefektifan kebersihan jalan napas
5.      Tekankan perlunya menjalankan terapi antibiotik selama periode yang di anjurkan.
R: Penghentian dini antibiotik dapat mengakibatkan iritasi mukosa bronkus, dan menghambat makrofag alveolar, mempengaruhi perlawanan alami tubuh melawan infeksi.
6.      Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan.
R: Meningkatkan pertahanan alamiah/ imunitas, membatasi terpajan pada patogen.
7.      Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan, mis: peningkatan dyspnea, nyeri dada, kelemahan memanjang, kehilangan BB, demam/ menggigil, dll
R: Upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah/ meminimalkan komplikasi.